Rasa Sayang atau Cinta?

Seorang teman menanyakan, mana yang lebih dulu, rasa sayang atau cinta? Ada yang tahu jawabannya?…

Terus terang, aku menjadi agak bingung, yang aku tahu adalah seseorang bisa saja menyukai, peduli bahkan menyayangi seseorang tetapi belum tentu mencintainya dan dapat dipastikan tidak mencintainya.  Rasa kangen atau rindu bisa saja ada, dan rasa itu bisa timbul pada siapapun orang yang kita pedulikan atau kita sayangi, manusiawi…

Aku pribadi bisa saja sangat peduli pada seseorang, mengasihinya tetapi tak lebih dari seorang sahabat dan jelas orang tsb tak dapat menuntut lebih banyak daripada itu, semua terbatas dan dibatasi dan tak akan pernah berubah. Dan dengan memberi batasan-batasan tsb sebuah hubungan bisa berjalan dengan lancar bahkan berlangsung bertahun-tahun, walau pertemuan tidak selalu terjadi. Kadang hanya say hello pertelepon atau lunch yang mungkin hanya terjadi 2-4 tahun sekali menanyakan kabar masing-masing atau ketika kami habis melakukan perjalanan dan ingin berbagi pengalaman atau sekedar curhat kemudian saling mendukung atas keputusan2 yang dibuat dari cara hidup masing-masing, bahkan kami masih tetap kontak setelah 20 – 30 tahun kemudian.Temanku menjadi bingung ketika rasa peduli berubah menjadi rasa sayang, dan ketika menuntut lebih tetapi tak terpenuhi maka kekecewaan pun timbul merasa tertipu dan marah, tapi bagaimana hal tsb bisa terjadi (walau hal tsb bisa jadi sangat wajar) bukankah mereka sudah mengetahui dari awal bahwa untuk membawa hubungan lebih jauh tak mungkin jadi mengapa harus marah ketika hal tsb akhirnya dikeluarkan secara verbal dalam sebuah pernyataan. Tidak bisa menerima itu wajar, tetapi kemarahan akan memperburuk keadaan.

Aku bertanya mengapa dia harus marah, tetapi kalau marah dan ingin mengakhiri hubungan mungkin juga akan lebih baik daripada cape hati tak jelas. Dia tak mau mengakhiri hubungan, karena merasa nyaman, tetapi kalau nyaman mengapa harus marah. Jika rasa marah sudah timbul berarti tak ada lagi rasa nyaman itu menurutku loh. Tetapi jika memang masih ingin berteman harus dibatasi bahwa tak boleh ada ekspetasi untuk apapun.

Taktikku untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan adalah mengetahui secara persis apa yang diingini diri sendiri dan orang tsb, apa yang kita pikirkan terhadap diri kita dan orang yang kita hadapi. Mungkin memang banyak yang akan terkaget-kaget jika banyak pertanyaan yang aku ajukan terhadap seseorang, tetapi itu lebih baik daripada shock di belakang hari. Setelah tahu dan mengerti/memahami, maka kita tahu sampai seberapa jauh dapat melangkah, batasan apa yang diperlukan dan harus komit menjalankannya sehingga tidak terjadi kerunyaman di kemudian hari.
Respek terhadap diri sendiri dan komitmen itu yang harus dijadikan pegangan dalam relasi apapun, walau dalam persahabatan sekalipun, sehingga diharapkan tidak ada sakit hati, tak ada dendam…

Yang paling sering aku lakukan adalah tersenyum ketika ditanyakan apakah aku mencintainya, karena cinta memang bisa datang sekonyong-konyong tanpa diundang, bahkan pada pandangan pertama, tetapi lebih baik tak mengatakan apapun jika tak tahu dan mengerti perasaan apa yang ada sampai benar-benar pasti, dan biasanya hal tsb membutuhkan waktu yang tak sedikit, karena salah-salah bisa membuat orang sakit hati. Dalam bercinta tetap dibutuhkan logika dan etika, seperti halnya dalam perkara apapun di dunia ini, mengandalkan hanya perasaan dan emosi tak akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Orang yang datang dalam kehidupan kita, tak selamanya akan tinggal tetap, kadang hanya sambil lalu, tetapi banyak pula yang datang untuk sebuah alasan yang baik dalam hidup kita yaitu sebagai “pembelajaran”…

Sebuah Ungkapan Rasa Cinta

 

“Terima kasih untuk semua keindahan yang ada padamu, Sayang…”

 

Tak ada pujian atau rayuan semu…

 

Cukup kalimat pendek yang sarat makna penuh ucapan syukur oleh adanya keagungan, kedalaman dan pengertian dalam sebuah cinta yang hanya dapat dimengerti keduanya.

 

Membuat arti kata “bahagia” dan “kebahagiaan” menjadi nyata dan hidup.

 

Ya, hanya kalimat pendek, tetapi sanggup membuat airmata menggenangi pelupuk mata, menghangati hati dan jiwa…selamanya.

 

 

adalah Cakrawala dan Kedasih,

dalam catatan 15/9/2011

AIR-MATA-ANGIN

Air yang malang…
Takkan pernah kau gapai cakrawala…
Karena cakrawala adalah fatamorgana…
Karena cakrawala hanyalah bayang-bayang…
 
Angin yang meronta…
Jangan luluhkan kepak kedasih…
Karena kedasih hanyalah warna…
Karena kedasih adalah putih…
 
Air yang malang…
Bergulunglah ke laut jauh…
Bercipratanlah bersama serpihan belulang…
Karena kau tak mungkin berlabuh…
 
Angin yang meronta…
Berdendanglah ke sela-sela batang bambu…
Suarakanlah segala ratap sendumu…
Karena kau tak mungkin menjadi bara…
 
Hanyalah cakrawala…
Hanyalah kedasih…
Yang membentang dan terbang…
Yang mengembang dalam terang…
 
Tanpa air yang malang…
Tanpa angin yang meronta…
 
Hanyalah cakrawala…
Hanyalah kedasih…
Yang ‘kan membara dalam kasih…
Berpagut bersama seruling gembala…
 
Tanpa air yang malang…
Tanpa angin yang meronta…
 
 
 
adalah Kedasih dan Cakrawala
bersama dalam 30 Juni 2011
dengan 06:57 pada catatan

SAYAP-SAYAP KEDASIH…

MALAM yang tua itu, kini terbungkus cinta. Melata dalam gelap, menuju titik cahaya. Bersama pagutan angin dingin, aneh… tak ada gigil lagi di sana. Tak ada lagi gemeretak gelisah dalam asa. Kehangatan cinta yang meronta, menyibakkan gelap dan kabut dingin menjadi gurat-gurat cahaya dalam binaran-binaran mata berbara…

Tak terasa, lorong gelap itu kian menampakkan ujungnya. Dari langkah ke langkah, dari nafas ke nafas, dari detak ke detak, titik cahaya pun kian meraksasa. Membulat, menebar, dan… menyergap raga, rasa, dalam cinta…

Terbang! Terbanglah, Kedasih! Sentuhlah Cakrawala yang terhampar bersama buih…

Mengepaklah! Berkepaklah! Kepakkanlah sayap-sayap mungilmu itu, Kedasih…

Gurat Cakrawala itu, yang membentang laksana rentangan lengan-lengan asmara, bukanlah ujung dari terbangmu. Dialah awal. Sebuah awal yang melelehkan salju pembungkus bara…

 
adalah Kedasih dan Cakrawala
bersama dalam 24 Juni 2011
dengan 06:45 pada catatan

TERUNTUK NYAWA-NYAWA YANG TAK DIPEDULIKAN


 

 

Hati teriris, karena miris

mata perih menahan airmata

hidung memerah tersumbat

menahan tangis.

 

Tapi…

hati lebih pedih dan sakit

bagai belati menghujam dada

mendengar dan melihat

kekejaman hati manusia

bagai diselimuti kabut

kenistaan dan tak berperikemanusiaan

berkedok dan berjubah

bagai malaikat

namun…

tak lebih dari laknat pencabut nyawa.

 

Tak ada kata

dapat terucap di bibir

hanya hati yang pedih

teriris sembilu

merintih dan merintih

darah mengucur tak henti

aaaaah…..

satu lagi saudaraku berpulang

di tanah orang

tanah tak bertuan dan tak berTuhan

tak mengenal sayang dan kasih

serta tak peduli

 

Selamat jalan saudariku…

walau hanya tiupan doa dan cinta

yang teriring…

akan mengiring kau ke tanah berTuan

dimana ada kedamaian dan kasih.

 

“Hai…Kau manusia laknat,

kau tanggungkan darah saudara-saudariku

yang melumuri tangan-tangan kotormu

agar pada saatnya tiba maka tubuhmu pun

akan dipenuhi lumuran darah

seperti apa yang telah kau perbuat!!! “

 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Perkara bangsa ini yang salah atau bangsa lain yang telah bertindak semena-mena terhadap para Tenaga Kerja di luar negeri, ingatlah siapa yang akan menanggungkan darah mereka jika terus-menerus tidak ada yang peduli.

Untuk para sahabat yang ku kasihi yang sedang mengais masa depan di luar negeri, berhati-hatilah kalian, jaga diri baik-baik, tetaplah menjaga kehormatan dan harkat diri yang hakiki, karena kebahagiaan dan keselamatan kalian tidak terletak pada pundi-pundi uang dan emas, tetapi pada inti diri sendiri.

Salam doa dan kasih, cinta dan kehangatan dari tanah air.

Sandra Prasetyo

20 Juni 2011 04:45am

Dalam Bayang

Ketika pagi dan fajar menyinari bumi

Kedasih terbang dalam terang

menuju garis bumi.

Menguntai rindu

dalam kepak-kepak sayap kecilnya.


Ketika mentari tenggelam

Kedasih tetap terbang

dalam sisa-sisa semburat lembayung senja

nan menawan.

Dan ketika petang semakin kelam,

gelap pun datang.

Mentari berganti sejuta bintang,

Kedasih tetap terbang….

mengepakkan sayap-sayap kecilnya,

berusaha menerjang,

meraih dan menggapai Cakrawala

yang tak hanya sebatas pandang.

~~~~~~~~~~

Ya, karena Cakrawala

tidak akan pernah tenggelam

Siang….

Malam….

Cakrawala tidak pernah tenggelam

Ia menelan….

Ya, ia menelan mentari.

~~~~~~~~~~~

Terbang,

terbanglah Kedasih….

Terjang,

Gapai,

Raih

dan

Rengkuhlah Cakrawala

dengan sepenuh rindu dan cinta.

 

adalah Kedasih dan Cakrawala

17/6/2011

BURUNG DALAM SANGKAR

SERINGKALI kita berpikir, berharap, dan mencari untuk mendapat segala hal yang ada di dunia. Ingin menikmati apa yang tersedia, tak pernah berhenti, tak pernah puas. Namun, apa yang kita dapatkan? Apakah kita akan mendapatkan kebahagiaan dan kebebasan setelah meraih semua itu? Atau, apakah semua itu hanya akan membelenggu kita untuk hidup bagai burung dalam sangkar?

Cinta dan puja didapatnya dari berbagai penjuru. Demikian jua kekaguman dan rasa iri yang terberi karena keindahan warna pada bulu-bulu dan suara merdunya.

Suara nyanyian yang indah dan merdu keluar dari mulutnya, dinikmati oleh para penikmat dan pecinta. Tetapi, tahukah mereka bahwa suara itu adalah tangis kesedihan dan penderitaannya?
Jeritan rindu akan kebebasan dan kehidupan.

Seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar yang indah, bahkan sangkar emas sekali pun, tetaplah sebuah sangkar yang mengungkung dan membelenggu.

Burung indah itu akan mati dalam sepi dan kesepian merindukan diri untuk dapat mengepakkan sayap dan terbang di alam bebas, menikmati hidup dan mencari kekasih yang tak pernah dimilikinya.

ironis,

mengiris,

ketika tangis tak lagi berairmata,

ketika tangis tak lagi bersuara,

hanya ada seserpih hati,

yang membisikkan pesan sepi,

bahwa kebahagiaan dan kebebasan hakiki,

takkan pernah terbeli…

(maka, hargailah selagi ada)

adalah Kedasih dan Cakrawala
15 June 2011  22:20